Kisah Nabi Ibrahim: Meneladani Sifat Ikhlas dan Rida

Apakah kalian sudah merasa ikhlas dan rida dengan kehidupanmu sekarang? Ikhlas dan rida, sekilas terdengar mirip. Namun, sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Ikhlas sendiri berasal dari sebuah kata akhlasha. Kata ini memiliki arti bersih, jernih, murni, dan tanpa campuran. Jika diartikan, ikhlas berarti sikap yang dilakukan hanya karena Allah dan tidak mengharapkan pujian maupun imbalan dari orang lain. Sementara, rida memiliki arti rela. Rela ini berhubungan dengan qada maupun qadar yang telah digariskan oleh Allah. Banyak kisah Nabi dan Rasul yang telah mengajarkan kedua sifat tersebut. Termasuk dalam kisah Nabi Ibrahim, salah seorang hamba kesayangan Allah. Yuk, kita pelajari kisah beliau bersama.

 

Kisah Nabi Ibrahim Ketika Mendapat Mimpi untuk Menyembelih Ismail

nabi ibrahim
Image by Pezibear from Pixabay

Nabi Ibrahim merupakan ayah dari Nabi Ismail, saat memasuki bulan Dzulhijah atau bulan haji, kisah beliau selalu mengisi tiap masjid karena keikhlasan dan keridaannya dalam mematuhi Allah terjadi pada bulan tersebut. Kisah beliau dimulai ketika beliau telah menikah dengan Sarah. Setelah sekian lama menikah, Sarah belum juga bisa memberikannya keturunan.

Akhirnya, beliau mendapatkan anak yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nabi Ismail dari istri lainnya, yang bernama Siti Hajar. Seperti itulah proses mendapatkan keturunan bagi Nabi Ibrahim, begitu lama penantian yang harus dilewati oleh beliau. Setelah beliau mendapatkan anak, pelajaran hidup yang beliau hadapi menjadi semakin sulit dan berat.

Tepat pada tanggal 8 Dzulhijah, beliau bermimpi didatangi oleh seseorang. Seseorang tersebut membawa perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya. Beliau kaget bukan kepalang karena mimpinya terasa sangat aneh, keraguan pun muncul dalam hatinya. Sepanjang hari, setelah mengalami mimpi tersebut, Nabi Ibrahim terus-menerus berpikir apakah mimpi yang datang tersebut benar-benar merupakan perintah dari Allah atau bukan. Dari kejadian tersebut, umat islam memperingatinya dengan melakukan puasa sunah Tarwiyah.

Keesokan malamnya, Nabi Ibrahim pun mendapatkan mimpi yang sama, karena mimpi tersebut datang secara berulang, beliau pun yakin mimpi tersebut merupakan pesan dari Allah. Oleh karena itu, pada tanggal 9 Dzulhijah umat islam berpuasa sunah Arafah yang berarti hari pengetahuan.

Akhirnya pada tanggal 10 Dzulhijah, beliau pun membawa putranya, Ismail kecil untuk disembelih. Sungguh berat untuk menyembelih putra yang amat disayanginya tersebut. Beliau bahkan menjelaskan kepada Ismail kecil dengan penuh keteguhan. Ismail kecil menjawab dengan penuh keyakinan bahwa beliau bersedia untuk disembelih.

Ismail kecil juga meyakini bahwa mimpi yang dialami ayahnya merupakan perintah yang berasal dari Allah. Sungguh sepasang anak dan ayah yang memiliki keteguhan hati, keridaan, dan keikhlasan yang luar biasa. Selama melakukan perjalanan tersebut, dikisahkan bahwa beliau dan istrinya, Siti Hajar, digoda oleh setan supaya menggagalkan kurban Ismail.

Pada saat hari penyembelihan tiba, parang tajam pun telah disiapkan. Namun, parang tajam tersebut ternyata berubah menjadi tumpul ketika ditempelkan kepada Ismail kecil. Ismail kecil pun berkata kepada Nabi Ibrahim. Beliau meminta ayahnya untuk menelungkupkannya jikalau ayahnya tidak tega menyembelihnya.

Sang Ayah pun hanya menuruti apa yang diminta oleh anaknya tersebut. Nabi Ibrahim menempelkan kembali parangnya kepada Ismail kecil. Namun, parang pun kembali tumpul dan tidak bisa digunakan kembali untuk menyembelih Ismail kecil. Nabi Ibrahim pun sangat bingung dan merasa gagal untuk melaksanakan tugas yang telah diperintahkan oleh Allah.

Ketika Nabi Ibrahim berada dalam kebingungan dan kebimbangan, wahyu dari Allah pun turun.Allah berfirman bahwa sesungguhnya mimpi yang datang kepadanya tersebut memang benar-benar ujian untuk Nabi Ibrahim. Allah pun akan memberikan balasan untuk orang-orang yang telah melakukan perbuatan baik. Maka, Allah memberikan tebusan hewan sembelihan besar untuknya.

Sebagai pengganti dari Ismail kecil yang telah diselamatkan, Allah pun memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih kambing yang berada di sebelah Ismail. Nabi Ibrahim pun segera menyembelih kambing besar tersebut.

Ketaatan dan kerelaan Nabi Ibrahim merupakan teladan bagi kita untuk tidak mudah mengeluh terhadap ujian yang diberikan oleh Allah. Jika dipikirkan kembali ayah mana yang rela menyembelih anaknya, apalagi untuk mendapatkannya saja begitu susah. Nyatanya, beliau dapat menghadapinya dengan penuh rasa ikhlas dan rida. Kisah Nabi Ibrahim dengan putranya tersebut merupakan awal perintah ibadah kurban atau Idul Adha yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijah di seluruh dunia.

 

Kisah Nabi Ibrahim Tentang Ikhlas dan Rida Ketika Diuji Bersama Istrinya

nabi ibrahim
Image by katja from Pixabay

Selain kisah mimpi untuk menyembelih anaknya, Nabi Ibrahim pun pernah diuji dengan perilaku Siti Hajar yang memikirkan hal yang tidak benar ketika Nabi Ibrahim karena meninggalkan dirinya bersama anak yang masih kecil di tengah gurun tidak berpenghuni. Kemudian, Siti Hajar pun mengejar beliau untuk menanyakan alasan Nabi Ibrahim tega meninggalkan mereka.

Setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Siti Hajar sama sekali tidak dijawab oleh Nabi Ibrahim. Beliau terus melangkah dan tidak menoleh meskipun di dalam hatinya benar-benar sedih. Tanpa sadar air mata pun menetes pada pipinya.

Beliau sedih memilih harus melakukan perintah Allah atau kembali menoleh untuk mengajak pulang istri dan anaknya yang terus-menerus memanggilnya.

Sementara itu, di belakang Nabi Ibrahim, ada Siti Hajar sambil menggendong Nabi Ismail kecil tanpa henti berteriak memanggil dan mengejarnya. Bahkan teriakan dari Siti Hajar terdengar hingga menembus langit. Siti Hajar sampai berucap dan bertanya “Apakah meninggalkanku dan anakmu di tengah gurun merupakan perintah dari Allah?”. Mendengar teriakan Siti Hajar tersebut, Nabi Ibrahim akhirnya berhenti melangkah. Beliau merasakan dunia seolah-olah berhenti berputar.

Bahkan, malaikat pun turut terdiam menunggu jawaban Nabi Ibrahim kepada istrinya. Bukit pasir yang berdebu seakan kaku, terpana, dan angin pun seolah berhenti. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Siti Hajar tersebut membuat semua yang berada di sekitarnya menjadi terdiam.

Akhirnya, Nabi kesayangan Allah ini pun membalikkan tubuhnya. Beliau memandang Siti Hajar dan anaknya. Dengan tegas beliau menjawab, “Iya”. Nabi Ibrahim melakukan semua itu karena perintah Allah. Siti Hajar yang mendengar jawaban itu pun berhenti dan tidak mengejarnya kembali.

Siti Hajar hanya terdiam dan berdiri mendengarnya. Air mata pun mulai bercucuran tidak berhenti mengalir dari kedua pelupuk matanya. Sambil menangis, Siti Hajar pun melontarkan sebuah kalimat penuh keikhlas dan keridaan yang luar biasa. Siti Hajar berkata, “Jika itu memang perintah dari Allah, pergilah, dan tinggalkan kami (Siti Hajar dan Ismail kecil). Allah yang akan menjaga kami”, ucapnya.

Akhirnya, Nabi Ibrahim pun memulai langkahnya kembali lalu segera pergi meninggalkan istri dan anak yang amat dicintainya. Hal tersebut membuktikan bahwa hal yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim bukanlah sebuah ketidakpedulian kepada istri dan anaknya yang masih kecil, melainkan pengabdian yang dilakukan atas perintah Allah. Bahkan, Siti Hajar pun mengikuti keputusan suaminya tersebut dengan baik sesuai perintah Allah. Kita dapat melihat, Siti Hajar dan Nabi Ibrahim yang begitu romantis dalam keberkahan Allah.

Dari hal tersebut, kalian bisa memahami sebuah keikhlasan dan keridaan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, bukan? Mereka bisa menghadapi cobaan yang luar biasa dan bisa dihadapi oleh keduanya. Ikhlas dilakukan tanpa ada rasa terpojok dan terpaksa. Bahkan, bukannya lari dari kenyataan dan menghadapinya.

Sebuah rasa yakin  mutlak terhadap perintah Allah, bukan berarti mengalah ataupun merasa kalah dari siapapun dengan adanya rasa ikhlas dan rida tersebut.

Keikhlasan dan keridaan yang tidak hanya terucap dalam bibir. Keikhlasan yang membuat kalian sanggup berlari, mengejar, dan melawan.Kalian memilih untuk tetap tunduk dan patuh. Keikhlasan merupakan sebuah keyakinan kepada Allah sang Khalik.

Inilah yang terkadang sulit untuk dilakukan. Karena ego dan amarah yang luar biasa dari kita sebagai manusia, keikhlasan, dan keridaan kita kepada Allah menjadi terkubur. Padahal, apabila kita mengikuti perintah Allah dengan baik, maka keberkahan dan kebaikan yang akan selalu datang dalam kehidupan kita.

Seorang Nabi, kekasih Allah saja diuji dengan cobaan yang begitu berat dapat menerimanya dengan baik. Mengapa kita yang hanya manusia biasa harus selalu marah kepada Allah ketika didatangkan cobaan?

Begitu berat cobaan beliau ketika harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di tengah padang pasir. Namun, beliau kuat menjalankannya karena perintah Allah semata.

Baca juga: Jumlah Nabi dan Rasul

Begitu pula dengan Siti Hajar. Istri mana yang tidak protes ketika suami meninggalkannya di situasi yang sulit bersama anaknya yang masih kecil. Namun, karena suami meninggalkannya atas perintah Allah, Siti Hajar pun ikhlas dan percaya Allah akan menjaganya. Kisah romantis tentang rida dan ikhlas yang benar-benar luar biasa.

Keikhlasan dan keridaan sesungguhnya merupakan modal bagi manusia untuk menjalani kehidupannya di dunia ini. Di tengah era globalisasi dan krisis ekonomi, setiap manusia harus memiliki keimanan yang lebih baik untuk dapat melewati pelajaran hidup ini dengan baik.

Keadaan tidak menentu ini, terkadang membuat kita sebagai manusia merasa gundah gulana. Jika kalian merasa menjadi manusia paling sengsara dan sering mengeluh, berkacalah pada kedua kisah keteladanan Nabi Ibrahim di atas, agar selalu ikhlas dan rida dalam menghadapi berbagai pelajaran hidup di dunia ini. Percayalah dengan berpikir positif dan optimis agar berbagai kebahagiaan dan kebaikan dapat kita dapatkan setelahnya. Semangat selalu untuk menghadapi pelajaran hidup ini, ya!

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *